Jumat, 30 November 2012

Mau jadi apa saya nanti?



Mau jadi apa saya nanti? Seorang insinyur, pengusaha, manager marketing, sarjana muda, atau seorang penggangguran? Pertanyaan tersebut selalu menghantui disaat kita termenung sendiri. Mungkin itu yang disebut pendewasaan, pencarian jati diri yang sesungguhnya. Rasanya belum siap menghadapi kenyataan hidup, takut tertinggal saingan dan rekan-rekan seangkatan.

Tuhan memang tidak ada bahkan tidak akan pernah menciptakan manusia dengan segala kebutuhannya yang dapat terpenuhi secara sempurna dengan usahanya sendiri tanpa bantuan orang lain. Saat pertama kali aku mendengar kisah broken home dari seorang teman saat duduk di bangku SMA, saya sangat mensyukuri atas apa yang telah diberikan tuhan kepada saya. Keluarga yang utuh, kebutuhan ekonomi yang tertutupi walaupun hanya pas-pasan. Kisah seorang anak perempuan yang harus menerima kenyataan hidup bahwa orang tuanya berpisah sejak ia berusia satu tahun. Kisah tersebut mengingatkan kita pada sebuah slogan “Harta yang paling berharga adalah keluarga”. Tanpa keluarga apapun yang kita miliki secara materi akan terasa hampa. Beruntunglah aku memiliki keluarga yang utuh, yang mau mendukung apa yang aku impikan.

Berbicara masalah impian, kita pasti akan dihadapkan dengan permasalahan “Apa bakat yang aku miliki?” dan “Apakah bakat tersebut sesuai dengan minat yang saya inginkan?”. Setiap hari pertanyaan itulah yang selalu menghantui. Pertanyaan yang seakan-akan membuat kita down dalam mengejar impian. Meraih impian itu bukan seperti memasak sayur tanpa garam yang menghasilkan masakan kurang sempurna. Artinya walaupun kita berdo’a dan meminta kepada tuhan setiap waktu kalau tanpa ada usaha yang kita kerjakan itu sama halnya dengan meminta gaji tanpa pekerjaan, menerima hak tanpa melaksanakan kewajiban.

Saat masih kecil kita ingin melakukan hal yang dilakukan oleh orang dewasa. Memakai pakaian yang menor, berbahasa yang agak aneh, sampai-sampai bergaul dengan orang dewasa agar terlihat lebih dewasa. Tapi apa mungkin hal demikian dapat menunjukkan bahwa kita telah dewasa? Jawabnya tentu tidak. Akan tetapi perlahan tapi pasti pendewasaan itu pasti akan datang dengan sendirinya dalam setiap diri individu manusia masing-masing. Anak kecil bilang dewasa itu enak, dewasa itu bebas, dan yang lebih dewasalah yang berhak berkuasa. Kalau diantara kalian yang merasa sudah dewasa beranggapan demikian pula berarti sesungguhnya anda masih kecil, “Kenapa begitu? Usia saya sudah cukup” mungkin pertanyaan itu yang akan muncul dibenak anda. Pertanyaan tersebut mungkin ada benarnya menurut hukum dan pasal tentang Lembaga Informatika bahwa usia saja sudah cukup untuk menjamin dewasanya seseorang. Berbeda dengan dewasa yang dimaksud saat anda tes masuk perguruan tinggi, mungkin anda akan disuguhkan soal-soal logika yang pada umumnya dikatakanlah hal yang sepele. Tapi tahukah anda? Soal-soal pada tes tersebutlah yang akan membuktikan apakah anda sudah dewasa atau belum. Dewasa secara usia dan cara berfikir tentunya.

Jadi proses pendewasaan itu tidak hanya dilihat dari usia yang kita lampaui, melainkan dari cara berfikirlah kita yang membuat kita menjadi terlihat lebih dewasa. Mampu berfikir tentang kenyataan hidup, bersiap untuk tatangan hidup, bersikap peduli dan tidak masa bodoh terhadap suata hal. Saat timbul pertanyaan dibenak anda “Mau jadi apa saya nanti?” bersyukurlah berarti anda telah dewasa, dewasa dalam berfikir tentunya. Untuk langkah selanjutnya adalah memikirkan bagaimana kita bisa melalui hidup ini. Pernah sya mendengar dalam suatu seminar, “Jangan biarkan hidup itu mengalir seperti air!”. Artinya kita harus berusaha dan terus berusaha agar hari esok menjadi lebih baik dari hari ini, kita harus melawan arus tersebut sampai kehulu-hulunya. Orang yang membiarkan hidupnya mengalir seperti air adalah orang yang tidak mau berusaha untuk menjadi yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Source: http://ketutsujane.blogspot.com